![]() |
credit |
Sebelumnya saya perlu mohon maaf, karena saya termasuk blogger yang tidak produktif, tidak ajeg menulis. Bayangkan saja, saya baru bisa posting lagi setelah satu tahun! Karenanya saya maklum sekali kalau para pemerhati blog ini banyak yang kecewa, karena ketika diintip ternyata
masih tetep tidak ada postingan baru :) Sesungguhnya dunia saya masih berjalan dan berputar. Pengalaman demi pengalaman hidup masih tetap saya dapatkan. Namun dari sekian banyak pengalaman itu tentu saya harus memilah-milah, mana yang harus saya bagikan untuk orang banyak dan mana yang hanya untuk pelajaran hidup pribadi saya.
masih tetep tidak ada postingan baru :) Sesungguhnya dunia saya masih berjalan dan berputar. Pengalaman demi pengalaman hidup masih tetap saya dapatkan. Namun dari sekian banyak pengalaman itu tentu saya harus memilah-milah, mana yang harus saya bagikan untuk orang banyak dan mana yang hanya untuk pelajaran hidup pribadi saya.
Puji syukur pada Tuhan YME, ketika timbul kesadaran dan keinginan untuk menulis, saya dipertemukan dengan sebuah karya tulis berbahasa Jawa yang sangat indah dan sarat dengan wejangan. Penulis adalah seorang yang sangat rendah hati, dan wejangan hidup yang beliau tuliskan pada tahun 1918 dan diterbitkan pada tahun 1921 oleh Balai Pustaka ini adalah dokumentasi dari hasil olah rasa dan karsa dari semua yang beliau alami sendiri. Salah satu dari 30 wejangan beliau yang sesuai dengan perenungan saya saat ini adalah tentang kebiasaan menulis. Demikian berharganya wejangan ini, sehingga saya merasa perlu untuk membagikannya dengan anda semua di sini. Dan sesungguhnya, wejangan ini lah yang melatarbelakangi keputusan saya untuk membuat blog ini 7 tahun silam.
Tentang kebiasaan menulis, sesungguhnya itu adalah hal baik yang hendaknya dipupuk. Mengapa demikian? Karena kita hidup di dunia ini sudah pasti mempunyai peran dan tugas masing-masing yang diberikan oleh Sang Pencipta. Seperti yang saya tulis dalam blog post SUCI - 2016, banyak sekali cerita hidup yang tidak sempat terdokumentasikan.
"Sekarang, keakraban itu harus diupayakan kembali, sedikit bersusah payah menggali lagi apa-apa yang sudah terlalu lama tertimbun file-file cerita hidup yang tidak sempat terdokumentasikan"
Perlu dipahami, bahwa manusia itu menjadi bisa, asalnya karena tahu, kemudian niteni, dan selanjutnya menirukan atau mencoba. Padahal, di jaman sekarang ini sudah tidak terhitung lagi berapa banyak yang kita saksikan, kita dengarkan; dalam satu hari saja bisa bermacam-macam hal yang kita alami. Saking banyaknya, maka seringkali kita sudah sulit mengingat semuanya. Singkatnya, manusia sekarang tidak bisa lagi niteni apa saja yang dilihat dan didengarkan. Otak belum selesai merekam apa yang baru saja diterima, sudah datang lagi yang lainnya. Demikian terus sehingga lama-lama menjadi tumpukan file-file cerita yang sulit untuk diingat kembali.
"Sekarang, keakraban itu harus diupayakan kembali, sedikit bersusah payah menggali lagi apa-apa yang sudah terlalu lama tertimbun file-file cerita hidup yang tidak sempat terdokumentasikan"
Perlu dipahami, bahwa manusia itu menjadi bisa, asalnya karena tahu, kemudian niteni, dan selanjutnya menirukan atau mencoba. Padahal, di jaman sekarang ini sudah tidak terhitung lagi berapa banyak yang kita saksikan, kita dengarkan; dalam satu hari saja bisa bermacam-macam hal yang kita alami. Saking banyaknya, maka seringkali kita sudah sulit mengingat semuanya. Singkatnya, manusia sekarang tidak bisa lagi niteni apa saja yang dilihat dan didengarkan. Otak belum selesai merekam apa yang baru saja diterima, sudah datang lagi yang lainnya. Demikian terus sehingga lama-lama menjadi tumpukan file-file cerita yang sulit untuk diingat kembali.
Nah, karena keterbatasan otak itu tadi, maka para arif bijaksana jaman dulu sudah memberikan pitutur pada kita agar mendokumentasikan apa yang kita lihat dan kita dengar, agar nanti pada waktunya, kita bisa melihat lagi dan mengingat kembali manfaat dari pengalaman tadi, yang pastinya selain berguna buat kita pribadi, siapa tahu juga bermanfaat bagi orang lain. Jika bisa menulis, maka tulislah. Jika bisa menggambar, maka menggambarlah. Apa saja yang muncul dalam ingatan, segeralah ditulis atau digambar pada media kosong, yang bisa disimpan dan dibuka lagi di lain hari.
"Dandanan kowe bisa nulis, bisa anggambar, apa unining engetanmu, enggal gambaren ing papan kang kothong, kena dilempit lan dijereng maneh ing dina buri. Cekake: aja pisah layang cathetan. Ana apa-apa kang rasane anggrenjel bakal kena kaanggo, lebokna ing cathetan, sanalika angger tanganmu kober." (R. Kartawibawa, 1921)
Di era sekarang, selain kertas dan pena, sudah tersedia berbagai media lain untuk tempat menampung catatan-catatan pengalaman dan perjalanan hidup kita. Seperti blog ini contohnya. Oleh karena itu, sesuai dengan tagline di atas, "Only a life lived for others is a life worthwhile" saya mempunyai pengharapan agar apa-apa yang saya sajikan di sini sebagai dokumentasi pengalaman hidup saya, bisa membawa manfaat bagi anda semua.
Leluhur kita dulu sudah menyadari pentingnya dokumentasi. Beliau sudah memahami bahwa jika suatu cerita atau pengalaman kita sampaikan secara lisan saja, maka itu tidak akan bertahan lama. Dari satu orang ke orang lain saja, cerita sudah pasti tidak akan sama lagi karena berbagai bumbu yang sudah dimasukkan, sesuai selera yang bercerita. Dengan mendokumentasikan berupa tulisan atau gambar, maka hingga kapan pun cerita akan tetap sama, tidak bisa diubah-ubah seenaknya, karena selalu ada acuan kepada cerita dan gambar aslinya. Ini salah satu yang melatarbelakangi dibuatnya prasasti dan arca-arca pada jaman dulu. Dipilihnya media batu dan logam tak lain adalah agar dokumentasi berupa tulisan dan gambar tadi bisa bertahan lama dan bisa dipelajari oleh anak turunnya, sesuai aslinya.
"Dene barang-barang sing metu saka engetanmu, yen ora kawetu utawa kaweruhan wong liya, prayoga cathetana, anak putumu kang bakal nemu lan ngawetake jenengmu, tegese: jenengmu lan gunaning uripmu dieling-eling sarana gambar tulis kang ora bisa owah unine." (R. Kartawibawa, 1921)
Jadi, mari kita menulis dan berkarya, untuk mengabadikan pengalaman indera kita berupa tulisan dan gambar, foto dan sebagainya. Menulis tentang hal-hal baik yang akan bermanfaat bagi orang banyak. Karena tulisan merupakan salah satu bentuk modern dari Patilasan atau Tinggalan kita bagi generasi penerus. Apa yang kita perbuat dan kita tulis akan menjadi saksi seperti itulah kita nanti akan dikenang.
"Lelabuha marang donya, agawea kabecikan marang wong akeh, ngaraha duwe kapinteran utawa kabisan kang ngungkuli wong akeh sabarakanamu." (R. Kartawibawa, 1921)
Demikian kira-kira tulisan saya kali ini. Sekalian saja, di sini saya juga memberikan contoh bahwa untuk mengupas filosofi hidup, kita tidak perlu jauh-jauh mengutip dari tokoh-tokoh dan leluhur bangsa lain. Leluhur kita sudah sangat arif dan sarat dengan kebijaksanaan yang tentunya jauh lebih sesuai bagi budaya kita. Tinggal kemauan kita saja untuk menggali dan menelaah lagi ke belakang.
Terima kasih sudah membaca postingan saya. Silakan datang lagi ^_^
Referensi:
Kartawibawa, Raden, 1921, Gagasan Prakara Tindaking Ngaurip, Welthephredhen: Balai Pustaka
Di era sekarang, selain kertas dan pena, sudah tersedia berbagai media lain untuk tempat menampung catatan-catatan pengalaman dan perjalanan hidup kita. Seperti blog ini contohnya. Oleh karena itu, sesuai dengan tagline di atas, "Only a life lived for others is a life worthwhile" saya mempunyai pengharapan agar apa-apa yang saya sajikan di sini sebagai dokumentasi pengalaman hidup saya, bisa membawa manfaat bagi anda semua.
![]() |
credit |
Leluhur kita dulu sudah menyadari pentingnya dokumentasi. Beliau sudah memahami bahwa jika suatu cerita atau pengalaman kita sampaikan secara lisan saja, maka itu tidak akan bertahan lama. Dari satu orang ke orang lain saja, cerita sudah pasti tidak akan sama lagi karena berbagai bumbu yang sudah dimasukkan, sesuai selera yang bercerita. Dengan mendokumentasikan berupa tulisan atau gambar, maka hingga kapan pun cerita akan tetap sama, tidak bisa diubah-ubah seenaknya, karena selalu ada acuan kepada cerita dan gambar aslinya. Ini salah satu yang melatarbelakangi dibuatnya prasasti dan arca-arca pada jaman dulu. Dipilihnya media batu dan logam tak lain adalah agar dokumentasi berupa tulisan dan gambar tadi bisa bertahan lama dan bisa dipelajari oleh anak turunnya, sesuai aslinya.
"Dene barang-barang sing metu saka engetanmu, yen ora kawetu utawa kaweruhan wong liya, prayoga cathetana, anak putumu kang bakal nemu lan ngawetake jenengmu, tegese: jenengmu lan gunaning uripmu dieling-eling sarana gambar tulis kang ora bisa owah unine." (R. Kartawibawa, 1921)
Jadi, mari kita menulis dan berkarya, untuk mengabadikan pengalaman indera kita berupa tulisan dan gambar, foto dan sebagainya. Menulis tentang hal-hal baik yang akan bermanfaat bagi orang banyak. Karena tulisan merupakan salah satu bentuk modern dari Patilasan atau Tinggalan kita bagi generasi penerus. Apa yang kita perbuat dan kita tulis akan menjadi saksi seperti itulah kita nanti akan dikenang.
"Lelabuha marang donya, agawea kabecikan marang wong akeh, ngaraha duwe kapinteran utawa kabisan kang ngungkuli wong akeh sabarakanamu." (R. Kartawibawa, 1921)
Demikian kira-kira tulisan saya kali ini. Sekalian saja, di sini saya juga memberikan contoh bahwa untuk mengupas filosofi hidup, kita tidak perlu jauh-jauh mengutip dari tokoh-tokoh dan leluhur bangsa lain. Leluhur kita sudah sangat arif dan sarat dengan kebijaksanaan yang tentunya jauh lebih sesuai bagi budaya kita. Tinggal kemauan kita saja untuk menggali dan menelaah lagi ke belakang.
Terima kasih sudah membaca postingan saya. Silakan datang lagi ^_^
Referensi:
Kartawibawa, Raden, 1921, Gagasan Prakara Tindaking Ngaurip, Welthephredhen: Balai Pustaka
salam..
ReplyDeleteartikelnya sangat menarik. saya jadi mengingat-ingat berapa kali saya sudah berniat, dan mencoba mewujudkan apa yang saya alami ataupun yang masih dalam bentuk pemikiran menjadi sebuah tulisan. tapi sering kali dalam prosesnya muncul pertanyaan lain yang kemudian berusaha saya jawab dengan pemikiran lanjutan, namun pada akhirnya saya merasa sudah "berjalan terlalu jauh" dari ide awal menuliskan pengalaman tadi sehingga saya urung menulisnya. mungkin yang perlu saya ingat bahwa tulisan pribadi ini bisa berhenti di koma, bersambung, tidak harus langsung tamat, bisa berhenti pada sebuah pertanyaan baru yang akan terjawab melalui waktu.
terima kasih.
Rahayu..
Terima kasih sudah membaca tulisan saya. One step at a time, bu Iyuz. Yuuk nulis :)
DeleteMaturnuwun Ibu atas pencerahannya. Saya penggemar tulisan Ibu. kalau pengalaman tidak dituliskan maka akan menguap begitu saja, kita sendiri sering lupa dan tidak bisa memetik hikmahnya jika terulang lagi besok2. Apalagi di era modern ini banyak media untuk menuliskan atau menggambarkan pengalaman.
ReplyDeletePagi Bu Dewi Liliana. Terima kasih sudah membaca tulisan saya. Semoga bermanfaat.
DeleteMatursembahnuwun Ibu, melalui tulisan ini, saya seperti menemukan jawaban yang saya cari. Selama 2 minggu ini saya stagnan dalam mencari ide, bekerja dan berkarya. Rasanya seperti perlu penyegaran, supaya ritme kehidupan kembali lagi. Dalam hati rasanya menjawab "mulai menulislah", rasanya perlu perjuangan karena aktiivitas yang cukup lama sudah saya tinggalkan. Rentang 10 tahun untuk bisa memberanikan lagi menulis (lagi). Semoga jari jemari dan hati saya dapat kembali lagi sinkron untuk jujur mulai menulis kembali Ibu.
ReplyDeleteSemangat menulis lagi, pak Broto Wali! Memang untuk mengawali lagi aktivitas yang sudah terlalu lama ditinggalkan itu butuh perjuangan sendiri, tapi ga lama kok. Paling butuh penyesuaian sebentar dan semuanya akan kembali lancar, meski mungkin style akan sedikit berbeda dengan 10 tahun lalu. Terima kasih apresiasinya. Keep coming!
Delete