![]() |
credit |
Inilah yang namanya keterusan.
Berawal dari postingan status di fesbuk, akhirnya menjalar jadi kajian yang lebih luas dan dalam lagi.
Dari pepatah Jawa yang tiba-tiba terngiang beberapa hari lalu sambil mengagumi Supermoon, yang bunyinya "Wong Jowo nggoning rasa, padha gulangening kalbu, ing sasmita amrih lantip, kuwawa nahan hawa, kinemat mamoting driya", akhirnya jadi terseret untuk mengkaji lebih jauh tentang makna kata rasa tadi. Kebetulan sekali, bahasa dan kesusastraan adalah salah satu minat saya, jadi semacam mendapat tambahan asupan energi ketika harus membahas tentang kata-kata. Kali ini saya coba tuliskan dari sudut poetika Jawa. Dari beberapa sumber menarik yang saya temukan dan pelajari, saya akan kemukakan di sini, sekedar membagikan hasil belajar saya dan tentu disertai dengan pengharapan agar apa yang saya tulis ini dapat menambah wawasan pembaca sekalian, pengunjung setia blog saya :)
'Rasa' atau roso dalam bahasa Jawa adalah inti dari pepatah di atas. Orang Jawa itu tempatnya rasa. Filsafat rasa, yang merupakan inti budaya Jawa, adalah bagian utama dari pengetahuan lokal, Kata rasa atau roso dalam bahasa Jawa dapat dipadankan dengan kata rasa dalam bahasa Indonesia, tetapi muatan kulturalnya lebih dari itu. Salah satu tinjauan semantik yang menarik telah dilakukan mengupas tentang lapis-lapis makna untuk memahami filsafat rasa. Makanan yang lezat dikatakan enak rasane, atau mirasa. Bumbu masakan yang terasa sedap disebut krasa. Merasa nyaman tinggal di suatu tempat disebut krasan. Bergunjing tentang keburukan orang disebut ngrasani. Makna kata atau isi surat adalah surasa. Membahas isi karya sastra disebut nyurasa. Menyadari kekurangan sendiri disebut rumangsa. Orang yang kepedean disebut kegedhen rumangsan. Dan sebagainya.
Karena kekayaan arti kata rasa tadi maka tidak berlebihan kalo disebut Wong Jowo iku nggone rasa, orang Jawa itu tempatnya rasa. Orang Jawa sangat menjunjung tinggi terhadap rasa. Mereka yang tidak memiliki rasa dikategorikan secara bertingkat pula: mulai dari ora duwe saru-siku (tidak punya rasa segan), ora duwe idhep -isin (tidak punya rasa malu), sampai dengan rai gedheg (tidak punya rasa malu).
Orang Jawa sejati selalu memahami rasa dan berperilaku tanggap ing sasmita, tanggap terhadap isyarat betapapun lembutnya. Pujian terhadap ketajaman rasa terungkap dalam peribahasa "Janma limpat seprapat tamat" (manusia yang tajam rasanya, dengan seperempat isyarat, mampu memahami semuanya). Ketajaman dan kedalaman rasa juga dikaitkan dengan tingkat-tingkat kepribadian dan status sosial, yang diungkapkan melalui peribahasa "Dhupak bujang, esem mantri, semu bupati" (tendangan bagi si pelayan, senyuman bagi si mantri dan isyarat lembut bagi sang bupati). Maksudnya semakin tinggi tingkat kepriyayian seorang Jawa, diharapkan semakin tajam dan dalam pula rasa pangrasanya. Tanpa perlu menggunakan kata-kata lugas apalagi kasar, ditambah ekspresi berlebihan untuk menunjukkan agitasi, misalnya, orang Jawa sejati hendaknya bisa memahami maksud apa yang disampaikan oleh lawan bicara dan tahu bagaimana mengambil sikap. Bahkan dengan respon seulas senyum saja, orang Jawa bisa merasa bahagia, puas, berterima kasih, merasa bersalah, atau bahkan takut sejadi-jadinya. Demikian pula sebaliknya, ketika berbicara menyampaikan maksudnya, orang Jawa sejati cenderung berhati-hati memilih kata-katanya dan jangan lupa, salah satunya suka sekali dengan sanepa, yaitu membandingkan sesuatu secara terbalik.
Kembali pada bahasan tentang rasa, dalam Wulangreh karya Paku Buwana IV nilai rasa tersebut diungkapkan demikian:
....
Rasaning rasa punika
upayanen darapon sampurna ugi ing kauripanira
(rasa dari segala rasa carilah dia, agar sempurna kehidupanmu)
Dalam Pupuh Gambuh (pupuh terakhir) Wedhatama karya Mangkunagara IV, pandangan tentang rasa lebih berani lagi. Di situ disebutkan adanya empat tingkatan sembah yang mempertautkan hubungan kawula dengan Gusti, dari tingkat terendah ke tingkat yang tertinggi. Urutannya adalah sembah raga, sembah cipta (kalbu), sembah jiwa, dan sembah rasa. Bisa dilihat di sini, sembah raga diletakkan pada tingkat paling rendah. Sepertinya ini semacam ejekan atau sindiran terhadap yang sedang sensitif itu yang banyak sekali mengatur tata laku lahir dalam beribadah kepada Tuhannya hehe... Sedangkan sembah rasa ditempatkan pada tingkat sembah yang paling tinggi. Ini sejalan dengan pernyataan bahwa inti filsafat Jawa adalah rasa.
Kembali pada pepatah di atas tadi, kalau boleh saya terjemahkan secara bebas kira-kira begini: "Orang Jawa itu tempatnya rasa, selalu menggunakan kalbu atau suara hati dan jiwa agar dapat memahami makna atau pesan yang tersembunyi, kuat menahan hawa (nafsu) sehingga akal dan pikiran bisa menangkap maksud sebenarnya". Salah satu rekan menyimpulkan "sinkronisasi akal, pikiran, dengan hati..." Yah kira-kira begitulah.... karena filsafat rasa sendiri tidak pernah dirumuskan secara eksplisit, melainkan dikemas dalam bahasa yang sangat puitis. Jadinya kembali lagi, gunakan rasa agar bisa memahaminya.
"Philosophy is thinking in slow motion".
Rahayu sagung titah dumadi.
Comments
Post a Comment